أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ یَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِیلَةَ أَیُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَیَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَیَخَافُونَ عَذَابَهُۥۤۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورࣰ
“Mereka itu orang-orang yang diseru justru mencari kepada Rabb mereka wasilah, siapakah di antara mereka yang lebih dekat dan mereka pun mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu hal yang harus dihindari.” (QS. Al-Isra’ : 57)
Ibnu ‘Abbas dan Mujahid menafsirkan, bahwa yang dimaksud ‘yang diseru selain Allah’ di dalam ayat ini adalah: ‘Isa, ibunya (Maryam), ‘Uzair, malaikat, matahari, dan bulan, serta bintang-bintang. Mereka semua mencari kedekatan diri atau kedudukan yang mulia di sisi Allah. Adapun Ibnu Mas’ud menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kejadian yang menimpa orang musyrikin Arab masa silam yang menyembah jin. Kemudian ternyata jin yang mereka sembah masuk Islam, sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Sementara mereka terus bertahan di atas kesyirikannya. Maka, Allah pun mencela perbuatan mereka dengan turunnya ayat ini. (lihat Ma’alim At-Tanzil, hlm. 746 karya Al-Baghawi rahimahullah)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau menerangkan tafsir dari firman Allah ‘Azza Wajalla,
أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ یَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِیلَةَ أَیُّهُمۡ أَقۡرَبُ
“Mereka itu (sosok yang disembah selain Allah) justru berusaha mencari kedekatan diri di sisi Rabb mereka, siapakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada-Nya).” (QS. Al-Isra’: 57)
Beliau berkata, “Dahulu sekelompok bangsa jin masuk Islam, sedangkan sebelum itu mereka dipuja-puja/disembah (oleh manusia). Kemudian orang-orang yang dahulu menyembah mereka tetap bertahan untuk menyembah mereka, padahal sekelompok jin (yang disembah itu) telah masuk Islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa segala sesembahan yang dipuja oleh kaum musyrikin apakah itu malaikat, para nabi atau wali adalah makhluk yang membutuhkan Allah. Mereka berusaha untuk mencari wasilah, yaitu melakukan amal yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Apabila keadaan mereka seperti itu, maka hal itu menunjukkan bahwa mereka adalah hamba alias tidak pantas untuk disembah. Lantas bagaimana mungkin mereka justru dijadikan tujuan doa dan sesembahan tandingan bagi Allah. Padahal mereka sibuk dengan urusannya sendiri dengan berdoa kepada Allah dan mencari kedekatan diri dengan Allah dengan beribadah kepada-Nya. (lihat Al-Mulakhash fi Syarh Kitab At-Tauhid, hlm. 62)
Ayat itu menunjukkan bahwasanya makna tauhid dan syahadat laa ilaha illallah adalah meninggalkan kebiasaan kaum musyrikin berupa menujukan doa kepada orang-orang saleh dan meminta syafa’at kepada mereka untuk menyampaikan kebutuhannya kepada Allah dalam rangka menyingkap marabahaya atau menyingkirkannya. Karena perbuatan semacam itu (berdoa kepada selain Allah) adalah termasuk syirik akbar. (lihat Al-Mulakhash, hlm. 62)
Semua makhluk penduduk langit maupun bumi adalah hamba Allah. Oleh sebab itu, mereka tidak boleh dijadikan sebagai sesembahan. Makna ‘wasilah’ di dalam ayat tersebut adalah ketaatan dan ibadah, bukan sebagaimana yang diyakini oleh para pemuja kubur dan penyebar khurafat bahwa maknanya adalah hendaknya anda mencari seseorang yang menjadi perantara antara anda dengan Allah untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhan anda kepada-Nya. Ini adalah pemahaman yang keliru terhadap maksud ayat tersebut. (lihat I’anatul Mustafid, 1/172)
Dengan demikian, ayat tersebut memberikan faedah kepada kita bahwa salah satu makna laa ilaha illallah adalah tidak boleh berdoa kepada selain Allah dan tidak mengangkat perantara untuk dimintai atau diibadahi dengan alasan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah atau memberi syafa’at di sisi-Nya. Barangsiapa yang mengangkat perantara (sesembahan) antara dirinya dengan Allah, sesungguhnya dia telah merusak kandungan kalimat laa ilaha illallah. Doa, taqarrub, dan ibadah tidak boleh ditujukan, kecuali kepada Allah. (lihat I’anatul Mustafid, 1/174)
Allah Ta’ala berfirman,
ذَ ٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ لَهُ ٱلۡمُلۡكُۚ وَٱلَّذِینَ تَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا یَمۡلِكُونَ مِن قِطۡمِیرٍ
إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا یَسۡمَعُوا۟ دُعَاۤءَكُمۡ وَلَوۡ سَمِعُوا۟ مَا ٱسۡتَجَابُوا۟ لَكُمۡۖ وَیَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ یَكۡفُرُونَ بِشِرۡكِكُمۡۚ وَلَا یُنَبِّئُكَ مِثۡلُ خَبِیرࣲ
“Itulah Rabb kalian, bagi-Nya seluruh kerajaan. Adapun segala sesuatu yang kalian seru (sembah) selain-Nya, sama sekali tidak menguasai apa-apa walaupun hanya setipis kulit ari. Apabila kalian menyeru mereka, maka mereka tidak mendengar seruan (doa) kalian. Seandainya mereka bisa mendengar, maka mereka tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Dan pada hari kiamat nanti mereka akan mengingkari perbuatan syirik kalian. Dan tidak ada yang bisa memberitakan kepadamu seperti Zat yang Mahateliti.” (QS. Fathir : 13-14)
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّ ٱلۡمَسَـٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدࣰا
“Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada siapa pun bersama (doa kalian kepada) Allah.” (QS. Al-Jin: 18)
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Allah tidak rida dipersekutukan bersama-Nya dalam hal ibadah dengan siapa pun juga. Tidak malaikat yang dekat ataupun nabi yang diutus. Tidak juga wali di antara para wali Allah. Dan tidak juga selain mereka. Ibadah adalah hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Adapun para wali dan orang-orang saleh, bahkan para rasul dan malaikat sekali pun, maka tidak boleh menujukan ibadah kepada mereka dan tidak boleh berdoa kepada mereka sebagai sekutu bagi Allah ‘Azza Wajalla. Perkara yang semestinya dan wajib bagi kita adalah mencintai orang-orang saleh dan mengikuti keteladanan mereka serta mengikuti jalan mereka. Adapun ibadah, maka itu adalah hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata….” (lihat At-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hlm. 25-26)
Berdoa kepada selain Allah, bahkan termasuk perbuatan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن یَدۡعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَـٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرۡهَـٰنَ لَهُۥ بِهِۦ فَإِنَّمَا حِسَابُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦۤۚ إِنَّهُۥ لَا یُفۡلِحُ ٱلۡكَـٰفِرُونَ
“Barangsiapa yang berdoa kepada sesembahan lain di samping doanya kepada Allah yang itu jelas tidak ada keterangan/ pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. Al-Mukminun: 117)
Allah Ta’ala berfirman,
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن یُؤۡتِیَهُ ٱللَّهُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ یَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا۟ عِبَادࣰا لِّی مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَـٰكِن كُونُوا۟ رَبَّـٰنِیِّـۧنَ بِمَا كُنتُمۡ تُعَلِّمُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ وَبِمَا كُنتُمۡ تَدۡرُسُونَ
وَلَا یَأۡمُرَكُمۡ أَن تَتَّخِذُوا۟ ٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةَ وَٱلنَّبِیِّـۧنَ أَرۡبَابًاۗ أَیَأۡمُرُكُم بِٱلۡكُفۡرِ بَعۡدَ إِذۡ أَنتُم مُّسۡلِمُونَ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia yang diberikan Allah kepadanya Al-Kitab, hukum, dan kenabian lantas berkata kepada manusia, ‘Jadilah kalian sebagai pemuja diriku sebagai tandingan untuk Allah.’ Akan tetapi, jadilah kalian rabbani dengan sebab apa yang kalian ajarkan berupa Al-Kitab dan apa yang kalian pelajari. Dan tidaklah dia memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan. Apakah dia hendak memerintahkan kalian kafir setelah kalian memeluk Islam?” (QS. Ali ‘Imran: 79-80)
Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah “Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa Al-Masih dan ‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan (bahwa mereka adalah anak Allah, pent).” (lihat Ma’alim At-Tanzil, hlm. 220 oleh Imam Al-Baghawi rahimahullah)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman,
وَلَا یَأۡمُرَكُمۡ أَن تَتَّخِذُوا۟ ٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةَ وَٱلنَّبِیِّـۧنَ أَرۡبَابًاۗ
“Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan.”
yaitu, dia tidak memerintahkan kalian beribadah kepada siapapun selain Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat (dengan Allah).
أَیَأۡمُرُكُم بِٱلۡكُفۡرِ بَعۡدَ إِذۡ أَنتُم مُّسۡلِمُونَ
“Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”
Artinya, dia (rasul) tidak melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada peribadahan kepada selain Allah, maka dia telah mengajak kepada kekafiran. Padahal para nabi hanyalah memerintahkan kepada keimanan, yaitu beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku (saja).” (QS. Al-Anbiya’: 25).” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim [2/67] karya Ibnu Katsir)
Allah Ta’ala berfirman,
وَیَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا یَضُرُّهُمۡ وَلَا یَنفَعُهُمۡ وَیَقُولُونَ هَـٰۤؤُلَاۤءِ شُفَعَـٰۤؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ
“Dan mereka beribadah kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak mendatangkan mudharat kepada mereka dan tidak pula mendatangkan manfaat. Dan mereka mengatakan, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah.’” (QS. Yunus : 18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya (4/256), “Allah Ta’ala mengingkari kaum musyrikin yang beribadah kepada sesembahan selain Allah yang mereka mengira bahwa sesembahan-sesembahan itu bisa memberikan manfaat bagi mereka dalam bentuk pemberian syafa’at di sisi Allah. Maka, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesembahan-sesembahan itu tidak menguasai manfaat, mudharat, dan tidak menguasai apa-apa. Tidak akan terjadi apa yang mereka sangka akan mendapatkannya dan hal ini selamanya tidak akan terjadi. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala berkata,
قُلۡ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا یَعۡلَمُ فِی ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَلَا فِی ٱلۡأَرۡضِۚ
“Katakanlah, ‘Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah mengenai sesuatu yang tidak diketahui oleh-Nya, di langit dan di bumi?‘” (QS. Yunus : 18)”
Yang menyedihkan adalah ternyata alasan semacam ini pula yang dibawakan oleh para penyembah kubur pada masa ini. Mereka beralasan bahwa wali atau orang saleh yang mereka puja-puja adalah perantara bagi mereka untuk memberikan syafa’at di sisi Allah. Mereka beralasan karena para wali itu lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Mayoritas kaum jahiliyah di masa lalu pun berkeyakinan bahwa sesembahan mereka menjadi perantara bagi mereka di sisi Allah, dan mereka beribadah (berdoa) kepadanya dengan alasan untuk memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah. Ini adalah keyakinan batil karena termasuk kedustaan atas nama Allah dan tidak ada seorang nabi pun yang memerintahkannya. Bahkan, apa yang mereka lakukan ini termasuk perbuatan beribadah kepada selain Allah dan kemusyrikan. (lihat Asy-Syarh Al-Mujaz ‘ala Al-Qawa’id Al-Arba’ oleh Syekh Raslan, hal. 19-20 dan I’anatul Mustafid oleh Syekh Al-Fauzan, 1/326)
Syafa’at adalah milik Allah, bukan milik para malaikat, nabi, atau wali. Allah Ta’ala berfirman,
قُل لِّلَّهِ ٱلشَّفَـٰعَةُ جَمِیعࣰاۖ
“Katakanlah, ‘Milik Allah semua syafa’at itu.’” (QS. Az-Zumar: 44)
Oleh sebab itu, tidak boleh meminta syafa’at, kecuali kepada Allah. Tidak ada yang bisa memberikan syafa’at, kecuali dengan izin Allah, karena syafa’at adalah milik-Nya. Bahkan, berdoa kepada para wali (baca: sesembahan selain Allah) demi mendapatkan syafa’at dan mendekatkan diri kepada Allah, itulah sebab mengapa Allah mengkafirkan orang-orang musyrik zaman dahulu (lihat penjelasan Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Kitab Kasyfu Asy-Syubuhat, hlm. 79-80). Wallahu Ta’ala a’lam.
source: muslim.or.id